Amak
Saye mungkin seorg anak, kakak, adik, kawan, sahabat dan teman anda!!!! ^^v

Saturday, November 7, 2009

"CICAK" Harus Tetap Hidup


Cicak lawan Buaya, kalimat yg pada awalnya diucapkan oleh "Bapak" (ditulis untuk menghormati orang yg lebih tua dari pada saya, bukan "salute" terhadap) Susno Duaji sebagai metafor sengketa antara KPK dan POLRI itu, kini menjelma menjadi mantera bagi sekelompok masyarakat untuk melakukan perubahan. Sialnya, mantera itu bak mantera santet yang kini "mengejar" sang empunya.
Inti pelajaran dari kasus Cicak versus Buaya adalah pepatah lama yang mengatakan: mulut-mu harimau-mu.
Kalau sang empunya mantera saja, tak sanggup mengendalikan kekuatan mantera itu, apalagi orang lain. Mantera itu kini bukan hanya sebuah kalimat yg dirapal, tapi sebuah kekuatan besar (people power) yang siap menghancurkan apapun yang menghalanginya untuk melakukan perubahan. Maka wajar, jika bapak presiden sampai melarang merapal mantera made in "bapak" Susno Duaji tersebut. Ada banyak kemungkinan, kenapa presiden ikut-ikutan takut pada mantera bikinan anak buahnya. Pertama, beliau tidak punya penangkal. Kedua, bisa jadi beliau termasuk orang yg sedang dikejar sama mantera tersebut. Wa allhu a'lam bishowab... (semoga saya salah)
Teks adalah realitas kehidupan kita. Melarang mengucapkan atau membuang teks dari kehidupan (seperti yg dilakukan oleh pejabat no 1) sama saja mengingkari sebuah kenyataan dan mengakui ketidak mampuan. Kanyataan ini seharusnya tidak boleh terlihat dari seorang pemimpin di saat keadaan membutuhkan bukti kecakapannya.
Saya jadi bertanya, apa yang salah dengan pemimpin saya? Toh pemimpin saya dipilih dengan metode dan teknik yang canggih! di impor dari negara yang dikatakan adi luhung, paling terdidik, paling berbudaya, harus dicontoh kalo pengen jadi menusia (bukan kera). Tapi hasilnya jauh lebih buruk dari hasil upacara lempar tulang, ataupun menunggu pulung yang hasilnya ditentukan oleh monopoli "dewa".
Di jaman canggih ini, kita "merebut" suara langit untuk menentukan pemimpin. Tapi kalo hasilnya seperti ini, buat apa?! ga ada guna! lalu siapa yg salah? tentu saja mereka yang memilih. Sudah seharusnya rakyat (yg memilih pemimpin terpilih) meminta maaf karena pemimpin yg mereka pilih tidak mampu mengemban amanah dengan benar, sehingga menyengsarakan mereka yg tidak memilih.
Efek dari ketidak mampuan inilah yang menyebabkan ada cicak versus buaya. Cicak versus buaya mungkin hanya kalimat bagi presiden. Tapi bagi saya tentu bukan! cicak versus buaya adalah realitas, kalau toh tidak bernama cicak versus buaya, tentu akan ada kalimat lain yg menggambarkan realitas tersebut. Karena kata pujangga apalah arti sebuah nama, mawar tetaplah mawar, andaikan bukan bernama mawar.
Realitas tak dapat dibohongi, dia tetap ada di alam sadar kita. Cicak harus tetap hidup, meskipun bukan bernama cicak. Karena buaya akan selalu ada, demi keseimbangan alam. Yin dan Yang. hitam dan putih. Tinggal kita para pelaku sejarah, harapan bangsa, akan ada dibarisan mana dalam pertarungan yg tiada henti hingga 1212. Eh sorry, maksudnya hingga kiamat hehehe

0 comments:

Post a Comment